Senin, 24 November 2014 0 komentar

UU ITE dalam Menjerat Cyberbullying: antara ada dan tiada

Hal pertama yang saya lakukan ketika bangun tidur adalah membuka akun sosial media (sosmed) yang saya punya lewat gadget. Hal ini hampir selalu saya lakukan, dan mungkin juga anda lakukan setiap pagi. Saya bukan orang yang maniak update status, tetapi membaca status orang bagi saya merupakan hal yang mengasyikkan. Saya dapat membangun interaksi dengan orang ketika saya masuk ke dunia maya, walaupun sejatinya saya masih bau bantal. 
Sosial media sepertinya telah menjelma menjadi wadah yang dapat membuat orang saling berinteraksi tanpa memandang status pendidikan, kewarganegaraan, dan melibas ruang dan waktu.
Sosial media menjadi primadona saat ini karena kebebasan yang ia tawarkan. Anda bebas mengeluarkan argumen, pujian, cacian, sampai curhat. Media sosial yang dijadikan sebagai tempat curhat ini yang biasanya menjurus pada cyberbullying atau bahkan pencemaran nama baik. Tidak ada aturan tertulis di sosial media tentang etika penggunaan sosial media. Hal inilah yang akhirnya membuat orang kebablasan dalam bersosial media. Suatu situs media sosial mungkin tidak mencantumkan etika penggunaan akun tetapi jangan lupa negara kita telah memiliki UU ITE yang mengatur tentang aktifitas di dunia maya.
Sayangnya UU ITE sebagai payung hukum untuk para netizen justru banyak mendapat penolakan karena dianggap membatasi kebebasan mengeluarkan pendapat. Sebenarnya ada apa dengan UU ITE ini kenapa antara ada dan tiada? Kenapa UU ITE yang seharusnya menjadi payung hukum justru terkadang tidak dapat memayungi? Beberapa hal yang membuat UU ITE tidak dapat digunakan secara maksimal adalah:
1.      Pasal dalam UU ITE kurang jelas
Pemerintah Indonesia telah membuat regulasi untuk melindungi masyarakat saat berada dalam dunia maya. Sayangnya pasal-pasal yang seharusnya dapat digunakan untuk menjerat cyberbullying justru merupakan pasal yang masih dilematis. Pasal pasal tersebut misalnya: pasal 27 ayat 1, Pasal 27 ayat 3, Pasal 28 ayat 2, dan Pasal 31 ayat 3 ini sangat bertentangan pada UUD 1945 pasal 28 tentang kebebasan berpendapat.
2.      Dilema Permasalahan Kasus Cyberbullying
Cyberbullying sendiri masih pada tahapan dilematis apakah masuk keranah hukum atau sosial. Cyberbullying yang masuk keranah sosial tentu akan sulit untuk dibawa keranah hukum. Jika cyberbullying masuk keranah sosial, maka akan timbul pertanyaan jika kemudian terjadi cyberbullying apakah cukup hanya dengan sanksi sosial. Dilain pihak jika cyberbullying dimasukkan keranah hukum, akan timbul pertanyaan apakah bullying merupakan salah satu kriminalitas? Apa batasan seseorang dikatan telah melakukan cyberbullying?. Belum adanya kejelasan batasan membuat UU ITE belum sepenuhnya dapat dijadikan sebagai pedoman hukum dalam kasus cyberbullying. Hal ini mungkin dikarenakan sampai saat ini di Indonesia belum ada kasus cyberbullying yang sampai menelan korban jiwa, sehingga pemerintah belum menempatkan cyberbullying sebagai permasalahan krusial.
3.      Tidak adanya kajian berkala terhadap UU ITE
Kita tahu bahwa dunia maya atau cyber merupakan bagian dari teknologi informasi yang mengalami perkembangan begitu cepat dan menimbulkan berbagai permasalahan. Kecepatan perubahan yang terjadi dalam dunia cyber tidak diimbangi dengan perubahan regulasi dalam UU ITE, sehingga UU ITE terkesan tidak dapat melingkupi permasalahan yang kemudian hari timbul didunia cyber.
4.      Ketegasan Aparat dalam Menindaklanjuti cyberbullying
Ada banyak kasus  tentang cyberbullying di Indonesia, tetapi hanya sedikit yang menjadi perhatian publik. Saya sampai saat ini belum menemukan kasus cyberbullying yang benar-benar diproses dan diberi hukuman sesuai yang tertulis dalam UU ITE. Pelaku cyberbullying yang disorot oleh media biasanya dibiarkan bebas dengan alasan bahwa UU ITE melanggar hak berekspresi atau dengan alasan pelaku cukup diberikan hukuman sosial. Adanya people power dalam mendukung pelaku cyberbullying sebenarnya bukanlah hal yang baik di mata hukum. Kondisi ini diperparah oleh aparat penegak hukum yang mengikuti arus masyarakat, sehingga jika masyarakat ramai-ramai memberikan opini tentang suatu kasus polisi akan mengikuti opini tersebut. Menurut saya sebenarnya ketegasan polisi dalam menjerat pelaku kasus cyberbullying dengan hukuman sesuai yang dituliskan merupakan upaya memberikan pembelajaran pada masyarakat untuk berinternet secara sehat. Pada akhirnya akan muncul pertanyaan mengapa UU ITE dibuat jika pada akhirnya para pelaku cyberbullying justru dibebaskan karena kasusnya mendapat perhatian dari masyarakat.
5.      Kurangnya SDM
Kendala lain dalam pengimplementasian UU ITE dalam penanganan kasus cyberbullying juga karena sumber daya manusi (SDM). Berikut merupakan kendala dari SDM terhadap implementasi UU ITE:
1.      Kejahatan dunia cyber merupakan kejahatan yang tidak dapat disentuh secara langsung karena ada pada dimensi high-tech dan aparat penegak hukum belum sepenuhnya mampu menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan dunia cyber.
2.      Minimnya pelatihan SDM sebagai upaya mengembangkan keilmuan para penegak hukum dibidang teknologi informasi.
Selasa, 18 November 2014 2 komentar

Bertanya pada Ustadz Google: Telaah ringkas tentang cyber religion

Beberapa hari yang lalu, dosen saya membawa cyber religion sebagai tema diskusi di dalam kelas. Menarik sekali, kata cyber saat ini telah banyak digunakan sebagai tambahan kata lainnya. Cyber bullying, cyber crime, cyber academy, cyber law, tapi saya tidak pernah menyangka bahwa ada cyber religion. Hal ini membuktikan begitu besar dampak dunia cyber terhadap dunia nyata. Sampai-sampai kita dapat melakukan aktifitas keagamaan di dunia cyber.
Apa salahnya melakukan aktifitas keagamaan di dunia maya? Dosa? Apakah salah menjadikan Google sebagai ustadz yang siap menjawab pertanyaan seputar agama? Muncul begitu banyak pertanyaan tentang cyber religion ini dibenak saya. Walaupun zaman nabi dahulu belum ada komputer apalagi teknologi internet, menurut saya melakukan aktifitas keagaaman atau belajar ilmu agama melalui media internet bukanlah bid’ah. Bagi masyarakat yang memiliki pengetahuan agama terbatas, Google telah menjelma menjadi ustad yang dapat merujuk kepada berbagai situs keagamaan yang siap menjawab pertanyaan kita. Intinya ustad Google sangat praktis, cepat dan bersifat kapanpun, dimanapun.
Sayangnya, berdasarkan pengetahuan saya dibidang perpustakaan dan informasi, tentu saja aktifitas beragama melalui dunia maya perlu dikaji ulang. Menurut saya aktifitas keagaaman di dunia maya sah-sah saja dilakukan selama tidak menyinggung SARA. Perihal belajar ilmu keagamaan melalui internet, sepertinya perlu ditelaah lebih jauh, kenapa? Karena di Indonesia literasi informasi dalam menggunakan internet belumlah ditanamkan secara baik dan luas. Padahal kita tahu beberapa situs keagamaan terkenal yang ada di Indonesia memiliki kecenderungan (bersifat radikal sampai bersifat sekuler) sehingga jika kita tidak dapat meliterasi informasi tentu kita hanya akan menjadi follower salah satu situs tanpa tahu apa makna sebenarnya dari situs yang kita ikuti. Menjadi follower bukanlah sesuatu yang buruk ketika kita memang memiliki dasar hukum yang jelas, tapi jika kita menjadi pengikut fanatik dan tidak bisa menjelaskan dasar  hukum yang jelas tentunya akan berbahaya.
Siapa yang dapat menjamin bahwa semua informasi agama yang ada di Google itu 100% benar? Siapa yang menjamin bahwa ustad Google dapat membantu kita untuk selamat dunia akhirat? Tidak ada. Masalah agama merupakan masalah yang krusial, bahkan tidak jarang jika banyak konflik terjadi akibat persinggungan dengan masalah agama. Internet sebenarnya membuka kesempatan bagi kita untuk belajar agama lebih luas, sayangnya ketika kita tidak mampu memilih informasi yang tepat kita sendirilah yang justru akan tersesat. Disinilah pentingnya kita meliterasi informasi mengenai cyber religion, supaya kita tidak tersesat. Bagaimana kita meliterasi informasi keagamaan di internet?
1.      Pastikan situs yang kita buka mencantumkan nama pihak yang bertanggungjawab terhadap konten yang dibuat.
2.      Jangan mudah percaya dengan nama besar seorang ulama di dunia maya, terkadang ada beberapa situs yang mencatut nama seseorang hanya untuk mengambil keuntunga. Pelajarilah lebih lanjut.
3.      Pastikan juga nama pihak yang bertanggungjawab itu ada bukan fiktif.
4.      Jangan langsung percaya terhadap satu konten dalam suatu situs, periksa kembali konten yang sama di beberapa situs yang berbeda (supaya mendapat perbandingan yang seimbang).
5.      Setelah membaca suatu konten di Internet berdiskusilah dengan teman, saudara atau guru yang juga mengetahui permasalahan tersebut.
 
;